Thursday, November 13, 2008

Beta atau Flamer?

Tahu apa bedanya Beta Reader sama Flamer? Ya jelas atuh, Beta Reader mah blablabla sementara Flamer mah blablabla ... :P

Hehe. Udah ah, nggak mau pamer definisi, sana aja ke Wikipedia cari arti dan fungsi, misi dan visi-nya sih..

Hanya mau sedikit membahas soal ini. Pertama, bukalah FFn dan pilih salah satu FF karya aicchan. Lihat word count-nya. Hitungannya pasti minimal 4k. Euh ... ada satu deng, yang hanya 600 kata :P

Lalu, lihat salah satu reviewnya, ada yang menulis:
Sebaiknya fiksi ini Anda buat ber-chapter saja. Terlalu panjang

Jadi nyengir sendiri. Sejak kapan panjang pendeknya FF menjadi tolok ukur bagus tidaknya FF sehingga layak masuk review? Di FFn sendiri nggak ada batasan panjang, hanya ada batasan besar dokumen maksimal: There is an upload file size limit of 9MB, dan itu juga hanya untuk urusan bisa enggaknya upload, bukan masalah jumlah kata.

Memang kecenderungan, FF jumlah kata kecil, makin banyak pengunjungnya, makin banyak reviewnya. Meski isinya geje sangat, meski penuh dengan lowongan OC--jadi isinya apa?-- meski penuh typo. Tapi FF dengan jumlah kata 10k, dengan plot mengalir, dengan deskripsi bagus, dengan nyaris tanpa typo, miskin pembaca, dan tentunya akan menghasilkan review yang sedikit.

Apakah kita memang ... malas membaca?

Kita kembali ke soal perbedaan antara Beta dan Flamer. Kalau perbedaan kita mungkin udah tahu, tapi apakah ada persamaan antara Beta dan Flamer?

Ada.

Mereka membaca tiap kata dengan baik, dengan teliti.

Beta Reader tentu saja membaca dengan teliti. Dia khusnuzon, berniat baik, ber-aura menolong. Kalau ketemu kesalahan, segera dia beritahukan pada penulis, agar penulis mengoreksi. Kalau ada kelemahan plot misalnya, dia minta penulis untuk memperbaiki agar plot jadi kuat. Dan ... satu lagi yang harus dipunyai Beta Reader, dia harus juga menemukan keunggulan naskah, dan memberitahukan pada penulis, agar penulis bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan, di cerita yang akan datang.
Apakah kau termasuk pembaca berjiwa Beta Reader?

Tapi ... Flamer juga membaca dengan teliti. Dengan suudzon, dengan niat jelek, dengan aura membunuh :P Tiap kata di baca, agar ketahuan dimana kelemahan penulis, dan diakhiri dengan menulis review penuh kalimat negatif.
Mungkin kau termasuk jiwa Flamer? Ngaku aja!
Hihi ..

Untuk bisa menemukan kesalahan dan kelemahan sebuah tulisan, tentu saja kita harus membacanya menyeluruh. Berarti harus ada waktu untuk membaca sungguh-sungguh. Lalu kita juga harus mempunya basic kuat, dalam hal menulis, dalam hal EYD, dalam hal fandom itu sendiri, dan kalau bisa juga sedikit basic sastra. Jadi Beta Reader maupun Flamer, harus punya kesemuanya ini.

Yang membedakan, hanya niat. Niatnya menolong atau membunuh :P Tata cara awalnya sih sama aja, baca dulu, cari kesalahan, dan baru setelah itu jalan bercabang, mau menolong atau membunuh?

Dan itu membawa kita dalam kesimpulan: yang nggak mau membaca, yang mengatakan sebuah fic itu terlalu panjang, pantaskah untuk disebut--bahkan--seorang Flamer?

Monday, November 10, 2008

Jangan Kalah Sama Yang Tidak Bisa Melihat

Subuh-subuh kemarin dapet SMS dari Duckie, bilang dia lagi di Bandung, tapi kecil kemungkinan untuk bisa ketemu. Lalu dia cerita juga tentang Write-ins Jakarta yang kedua, ketemu dengan Wind Rider.


Ternyata ... Wind Rider itu buta. Nggak bisa melihat. Pantes, dalam surat-suratnya terdahulu, saat Mama Wolf menyarankan agar tulisan diberi warna untuk hal-hal yang seharusnya diubah nanti saat November sudah berlalu, dia bilang: Tapi ga pakewarna... I'm blind, so I have to find another way


Coba bayangkan membaca monitor via peranti berbicara, jadi membaca pakai telinga. Lalu menulis pakai keyboard braille. Dan dia ini aktif di forum, juga dia aktif (di antaranya) di forum fanfiction-nya Shurtugal. Jangan lupakan NaNoWriMo-nya udah nyampe 18k!

Jadi ... malu.

Kita yang diberi kemudahan seperti ini kok ... males ya?

Saturday, November 08, 2008

Kematian dalam Fiksi

Euh. Menjelang kematian Kakashi--jangan dong, kali aja ada siapa yang meyelamatkannya--jadi pengen ngomongin kematian. Khususnya kematian dalam fiksi. Khususnya lagi, kematian di fandom Harry Potter dan fandom Naruto. Pengen ngebandingin.

Kata dosenku dulu, jangan membandingkan jeruk dan apel karena nggak bakal sebanding. Bandingin jeruk mandarin sama jeruk Medan, itu baru sebanding :P Ini juga, kok ngebandingin manga sama novel ya? Gimana ngebandingin gambar dengan teks? Hihi ..

Tapi, sebodo amat. Pokoknya Ambu pengen ngebandingin kematian-kematian yang terjadi dalam Naruto dan Harry Potter :)

Manga dan novel sama-sama berkesempatan menyembunyikan petunjuk. Novel, lebih mudah karena petunjuk bisa saja yang tersurat atau yang tersirat. Gambar lebih gamblang. Malah katanya gambar itu mewakili seribu kata. Eh, ikutan NaNoWriMo aja kali ya? Hihi ...

Novel bisa membangun emosi dengan kata-kata yang tepat, sebaliknya manga lebih terbuka. Namun, kalau tepat, manga justru memunculkan emosi, sementara novel kehilangan kata.

Ambu justru emosional ketika melihat kematian Asuma, kematian Jiraiya, dan yang kali ini mungkin terjadi, kematian Kakashi. Mudah-mudahan saja nggak terjadi.

Tapi ... Ambu sebel sekali ketika JKR memunculkan kematian dalam jilid 7 bukunya. Setelah kematian Dobby yang diceritakan secara detail, berikut penguburannya, kenapa Remus hanya diceritakan selintas? Kenapa Tonks hanya diceritakan sekalimat? Kenapa Severus Snape hanya dilukiskan saat kematiannya saja, tidak ada post-mortem-nya?

Padahal ini novel, di mana kemungkinan untuk bermain kata sungguh sangat luas, tak terbatas cakrawala--ciee-. Paling-paling ... terbatas oleh deadline.

Dan itulah yang terbayang, dulu dan saat ini. Sementara dalam Naruto Kishimoto bisa hiatus utnuk menyiapkan chapter berikutnya, JKR sepertinya kehabisan waktu, dikejar deadline, untuk menyelesaikan novelnya. Yang seharusnya jauh lebih tebal dari jilid 5, ini justru jauh lebih tipis...

Dan begitulah yang terjadi, fanfic kemudian menjadi pelampiasan untuk lebih menempatkan kematian Severus Snape ke tempat yang lebih sesuai, lebih terhormat. Untung ada fanfic ...

Friday, November 07, 2008

Kakashi dan website...

Karena FFn dianggap sudah tidak memenuhi syarat untuk berkarya --ciee-- Ambu buka thread ini :P Sedihnya, kalau memang nanti dibuka, Ambu justru pas pergi ... Huhu ...

*****

Dan ... kang Kishi nulis ini di akhir chapter 424: On hiatus next issue so the author can work on upcoming chapters.

Huwaaaa! Kakashi gimana dong? Masa' cliffhanger di saat Ambu pergi?

Er ... di Mekkah ada jaringan buat internet nggak ya? Al Jawal, Mobily atau Zain, bisa internet nggak ya? Nanti Ambu ganti pake itu di sana ...
*ditakol sama ustad*
:P

Monday, November 03, 2008

Jiplakan

*liat-liat entri* Sekarang isinya udah bukan cuma Snape aja ya, tapi lebih condong ke penulisan :P

Ambu langganan majalah Tempo, dan di dalamnya sering ada artikel review film dan atau buku. Walau sering diganti yang lain, tetapi yang sering nulis di situ adalah Leila S Chudori. Bukan, bukan Chidori-na Kakashi, apalagi Sasuke :P


Tulisannya enak dibaca. Dulu Ambu sering baca tulisan fiksinya, bukan artikel untuk majalah seperti ini. Yang satu ini, Ambu baca lagi kemarin-kemarin ini: Kelopak-Kelopak Yang Berguguran. Novel remaja, terbitan tahun 1984. Hayo, apakah kau sudah lahir waktu itu?
*Ambu udah bisa nyengir pake seragam abu-abu*


Yang terkenal waktu itu, kalau cowoknya, Hilman Harriwijaya, kalau ceweknya Leila S Chudori.


Waktu itu Ambu merasa ada yang aneh dengan novelnya ini. Tapi karena dia ngetop, waktu itu sih cuek aja. Sekarang-sekarang baru ngeh. Apakah ini bisa dibilang copycat (walau cuma sebatas dua-tiga halaman)?


Ceritanya Nony Suwito, cewek Bandung, ayahnya meninggal dan menjadikannya sebatang kara, dia dikirim pada sahabat ayahnya, Maryono di Jakarta. Biasa, Maryono punya anak cowok, udah punya pacar, tapi 'mengerikan' dan akhirnya jatuh hati pada Nony.


Pada saat membaca novelnya, terasa banget 'tambal sulam' dari bacaan dan film yang waktu itu juga Ambu lagi suka baca. Ada Sound of Music (Nony yang sederhana=Maria, Martia=Baroness, Nony-nya juga suka main gitar, dan mereka mengadakan jamuan makan==> di mana kita terbiasa bikin jamuan makan, kaya' orang Barat aja) dan Little Women, itu yang Ambu inget bener.

Adegan-adegannya ... di mana Nony kembali ke Bandung gara-gara disemprot oleh Martia, persis banget kalau kau nonton Sound of Music, pas acara pesta itu, dan kemudian Nony-nya balik lagi ke Jakarta, persis lagi seperti Maria balik lagi ke kediaman Captain. Ada juga adegan yang persis seperti di buku Little Women--katanya udah ada filmnya, tapi Ambu belum nonton.

Jadi mikir.

Emang dari dulu mungkin kita memang 'piawai' menjiplak ya? Jadi sekarang nggak heran kalau sinetron jiplakan merajalela, lagu jiplakan merajalela ...