Friday, November 25, 2016

Menyunting Kenangan

[ENTRY INI BERKECENDERUNGAN UNTUK MENYISIPKAN SPOILER]

Tahun 2004, sebuah penerbit besar merayakan ulangtahun ke-30. Di antaranya dengan menerbitkan kumpulan cerpen hasil karya editor-editor mereka, Cinta dalam Stoples.

Salah satunya adalah karya Novia Stephani, Menyunting Kenangan.






Selebihnya bisa dibaca di sini

Menyunting Kenangan berlatar scifi futuristis, bercerita tentang seorang Tira Allen yang ditinggal mati kekasihnya Elouise, tepat sebelum ia akan melamarnya. Hari-hari sesudahnya menjadi tak keruan. Ia selalu teringat Elouise. Ia kemudian menghubungi Fresh Start Psychoneurological Research Facility untuk menggunakan fitur MemoDit untuk menghapus memorinya. Menyunting kenangan.

Ia harus membawa semua memorabilia yang berhubungan dengan Elouise untuk dihancurkan, lalu Fresh Start akan menghapus semua kenangan tentangnya. Simpel. Dengan demikian ia bisa melanjutkan kehidupannya.

Pada awalnya memang berjalan mulus. Ia berhubungan dengan Anne. Ia melirik gadis-gadis manis berbaju tipis dan pendek. Tapi kemudian ia menghirup aroma parfum Elouise yang ia kenal, Angelique.

*****





Dalam buku terakhir The Mortal Instruments, City of Heavenly Fire, empat shadowhunter, satu warlock, dan satu vampire, terperangkap di dimensi yang dikuasai Asmodeus, si pangeran iblis. Asmodeus juga sebenarnya adalah ayah dari si warlock, Magnus Bane.

Asmodeus mengijinkan kelima pemuda itu kembali ke dunia nyata, tapi Magnus tidak boleh kembali. Magnus sudah pasrah saja, toh ia sudah hidup lebih dari 400 tahun lamanya. Kemudian Asmodeus melihat Simon Lewis. The Daylighter. Vampir yang bisa berjalan di siang hari.


Ini lebih menarik untuknya. Terutama memorinya. Maka ia mengijinkan keenam pemuda itu kembali ke dunia nyata, kecuali memori Simon selama menjadi Daylighter, dan memori-memori yang berhubungan dengannya.

Maka Simon kembali ke dunia nyata tanpa ingat bahwa ia pernah menjadi vampir. Tanpa pernah ingat bahwa ia bersahabat dengan shadowhunters. Bahkan ia tak bisa ingat bahwa ia pernah bersahabat akrab nyaris pacaran dengan Clary. Saat Clary menelepon, yang ia ingat hanya: mungkin ini gadis teman sekelas yang sama-sama mengambil kelas Bahasa Inggris dan ingin mengerjakan tugas bersamanya.

Kelima sahabatnya ingin agar Simon ingat kembali semua saat yang mereka alami bersama. Clary dan terutama Izzy. Tapi sia-sia. Simon bahkan tak ingat bahwa dia sering ke sebuah kafe, padahal si pelayan kafe kenal dia dan kebiasaannya berdua bersama Clary dulu. Simon sekarang masih bersama dengan teman-teman band-nya dengan nama yang selalu berubah. Dan ia memberikan flyer jadwal manggung band-nya.

Nama band-nya sekarang jadi The Mortal Instruments.

Magnus langsung berkesimpulan bahwa pemulihan memori Simon bisa dilakukan! Walau sedikit-sedikit dan dalam waktu yang lamaaaaaa sekali.

Sehingga saat pernikahan ibu Clary Jocelyn dengan manusia serigala Luke, Simon bisa datang, dan sedikit-sedikit mulai mengingat siapa dan apa di sana.

*****

Di akhir film Fantastic Beasts and Where to Find Them, dilukiskan Jacob Kowalski yang No-Maj diharuskan di-Obliviate. Proses Obliviate massal yang sedang dilangsungkan adalah dengan menumpahkan intisari cairan dari Swooping Evil dalam hujan deras yang dipanggil oleh Frank the Thunderbird ke seluruh kota.

Perkiraan ambu, konsentrat cairan ini sungguh sangat dahsyat sehingga bisa membasahi seluruh kota. Lalu, bagaimana yang berada di dalam bangunan dan tidak terbasahi? Ada yang mengira-ngira: masuk dalam saluran air. Tapi itu kalau yang lagi mandi/minum. Bagaimana kalau yang hanya berteduh saja, tak melakukan apa-apa?

Perkiraan ambu: aroma. Bayangkan saat hujan pertama kali menyentuh tanah, aroma yang menguar yang banyak orang suka, disebut petrichor. Nah, cairan ini sepertinya punya efek yang sama. Jadi cairan bekerja tidak hanya pada hujan yang membasahi, tapi juga aromanya menguar ke seluruh kota, dihirup oleh seluruh No-Maj.

Mungkin tidak oleh mereka yang berada di basemen. Atau di stasiun bawah tanah, seperti Jacob. Karena itulah ia naik ke permukaan, dan menyongsong hujan.

Tapi, apa yang dihapus oleh cairan itu?

Perkiraan ambu, memori dalam pikiran.

Tapi rasa kagum, mungkin gemas pada Niffler, takut pada Erumpent, sayang pada Demiguise, itu bukan pikiran. Itu rasa. Ada di hati, bukan di otak. Apalagi getar-getar asmara pada neneng Queenie. (Iya, pengendalinya sih di otak xD)



*****


Ketiga fiksi ini lewat begitu saja sehabis membaca-baca obrolan di grup IndoHarryPotter di Facebook. Entah, tapi ada persamaan di dalamnya.

Di cerpen pertama, semua sudah dirancang sebegitu sempurna, sebelum tetiba muncul faktor luar yang memang tak akan bisa dihalangi. Tira bisa membuang semua memorabilia yang ada padanya, tapi memorabilia yang menjadi milik umum, bagaimana mengenyahkannya? Wangi Angelique bisa dijabarkan secara umum, tapi secara subyektif bagi Tira, Angelique itu Elouise.

Di fiksi kedua, Asmodeus sudah sedemikian sakti sehingga semua yang berhubungan dengan memori Simon sebagai Pejalan Siang sudah dihapus. Bahkan ia tak mengenali telepon Clary, temannya sedari kecil.

Tapi rasa tak bisa dihapus. Alam bawah sadar Simon punya rasa pada The Mortal Instruments. Dan dengan demikian, Magnus bisa membangkitkan sedikit demi sedikit rasa yang Simon masih simpan: pada Clary, pada Izzy, pada semuanya!

Apalagi pada fiksi ketiga.

Karenanya, hapuslah pikiranmu. Rasa akan tetap bertahan, bawah sadar maupun sadar!


Wednesday, November 23, 2016

[REVIEW] MONSTER AND BEAST

[ENTRY INI MUNGKIN PENUH DENGAN SPOILER]

Monster dan hewan-hewan buas?

Alkisah di suatu tanggal 13 Oktober 2016, pergilah ambu menonton A Monster Calls sendirian xD Filmnya bagus sekali. Dan seperti biasa ambu pun ber-fangirling berkabar pada beberapa kawan. Sebagian dari mereka, setelah menonton juga, lalu berkabar berbeda.

"Ah, biasa saja. Atau mungkin hatiku sudah menjadi batu?

Mungkin ya, mungkin tidak.

Mari kita merunut balik.

Di suatu saat, seorang teman menyarankan 'The London Eye Mystery' tulisan Siobhan Dowd pada ambu. Begitu dapat, langsung dibaca.

Premisnya sederhana, seorang anak dan ibunya berkunjung ke London pada keluarga saudara si ibu, keluarga Spark. Mereka kemudian mau naik The London Eye, kincir angin raksasa yang terkenal di London itu. Si anak, Salim, naik, tapi tak pernah turun lagi. Ke mana ia?

Ceritanya sederhana, pemecahan masalahnya juga sederhana. Yang tidak sederhana ialah karena peristiwa ini dilihat dari sudut Ted Spark, seorang anak penyandang Asperger.

Siobhan Dowd piawai dalam menyusun kata, hingga isi hati isi pikiran Ted Spark bisa menarik. Buku The London Eye Mystery ambu beri lima bintang di Goodreads.

Lalu ambu menelusuri buku-bukunya yang lain. Sayang baru satu itu bukunya yang diterjemahkan di Indonesia. Menelusuri riwayat hidupnya, ternyata Siobhan sudah meninggal, karena kanker...

Sedihnya kalau seorang penulis meninggal ialah, kemungkinan ada banyak ide yang belum diwujudkan dalam bentuk tulisan. Salah satu ide Siobhan yang belum terwujud itu kemungkinan sempat dibicarakan pada Patrick Ness, sahabatnya. Kemudian lahirlah A Monster Calls.

Saat itu A Monster Calls belum diterjemahkan. Kebetulan saja ada diskon di salahsatu toko buku impor, jadi ambu bisa membelinya, dan engga tahunya ternyata itu edisi ilustrasi. Ilustatornya adalah Jim Kay, yang kemudian juga mengilustrasi Harry Potter Illustrated.






Ceritanya tentang seorang anak, Connor. Ayah-ibunya sudah berpisah, ayahnya sudah menikah lagi dan pergi ke Amerika, sementara ibunya menderita suatu penyakit.

Suatu malam Connor didatangi seorang/sebentuk monster. Monster itu tidak datang untuk menakut-nakuti, membuat suasana jadi horor, melainkan untuk bercerita. Ada 3 yang akan diceritakannya, lalu di akhir Connor yang harus menceritakan kisahnya, kisah ke-4.

Cerita-cerita yang dituturkan si monster ternyata berdampingan dengan keadaan yang sedang dialami Connor: ibunya yang sedang menderita penyakit mematikan, Connor sendiri dirundung di sekolah, kerinduan Connor akan ayahnya, neneknya yang 'asing' bagi Connor.

Ini... mencekam. Bukan mencekam model film horor atau suspense begitu, lebih ke psikologis. Lalu timbul pertanyaan: apakah kesemua situasi mencekam itu dialami oleh Siobhan pada saat-saat terakhirnya? Apakah A Monster Calls ini lebih merupakan catatan harian Siobhan sendiri?



Lalu 13 Oktober saat filmnya premier, ambu nonton sendiri (literary sendirian karena dalam bioskop cuma sendiri, plus kemudian mbak penjaga karcis dan mas pembersih turut nonton di kursi depan). Secara umum, film persis dengan buku.

Dan pertanyaan itu muncul lagi. Apakah semua perasaan yang dialami Connor itu adalah perasaan Siobhan saat ia divonis menderita kanker? Ketakutannya? Kemarahannya? Kesendiriannya?

Lalu di saat akhir, saat ia 'menyerah', saat ia membiarkan semua berlalu sebagaimana adanya, apakah begitu juga perasaan hati Siobhan di saat-saat terakhirnya?

Karena itu, masa bodo kalau orang lain menilai buku dan film ini membosankan. Buku dan film ini lima bintang buatku. Pas sekali menggambarkan suasana hati dan pikiran Connor sebagai wakil dari Siobhan, pada saat-saat akhir...

Kemudian setelah monster, datanglah beast... Bukan, bukan Beauty and Beast, itu mah tahun depan xD





Sampai saat ini ambu sudah dua kali nonton #nyengir tapi masih pengen lagiiiiiiii!

KUMAU PELIHARA FRANK!

*eta ku keukeuh* xD

 Daaaaaan, sama seperti A Monster Calls, ambu nonton di pertunjukan pertama, lalu kabar-kabari pada yang lain. Sama  juga seperti A Monster Calls, sebagian langsung fangirling bersama, sebagian lagi tidak.

Alasannya bermacam. Ada yang karena ternyata FBAWTFT asalnya dikira bakal seperti acara Steve Irwin dan semacamnya, dengan macam makhluk yang fantastis karena makhluk sihir, ternyata di akhir malah condong ke politik sihir. Inin sih sama, sebenernya pengharapan itu pada hewan-hewan fantastis yang banyak, Tapi kalau engga ada ceritanya sih kan engga seru xD

Ada juga yang melabeli FBAWTFT membosankan karena... Newt ngga ganteng, culun, dan canggung. Tina juga canggung. Sihirnya engga kolosal.

Bwahaha. Ini cerita seorang Hufflepuff, mana bisa ganteng cetar kolosal membahana! Tipe Newt itu bukan seleb di atas panggung, dia lebih suka bekerja di belakang layar.

Maka benar komen salahsatu Potterhead: ini mah film buat Potterhead, bukan buat Muggle atau No-Maj. Biukan buat penggemar film holiwut dengan bintang ganteng dar-der-dor dan sebagainya.

Suka sekali pada penggambarannya yang canggung, tapi terlihat kalau dia sayang sekali pada semua hewannya. Prinsipnya: binatang harus dimengerti. Kalau semua hewan mengerikan harus dibasmi, punah dong semuanya? Hewan-hewan mengerikan itu kan bukan mau mereka, bukan kemauan mereka lahir tidak dengan wajah ganteng atau cantik...




Umumumumu!

Satu lagi di sini: lelaki berkemeja lengan panjang digulung sesiku. Aih! Meleleh lah. Tinggal satu lagi: kalau saja Newt pakai kacamata. Meleleh level dewa xDD

Singkat kata: monster and beast itu korban stereotip. Mereka tidak jahat, mereka tidak minta dilahirkan seperti itu. Pahamilah, sayangilah, dan dunia berada di dalam genggamanmu #tsaah!

Sebenernya lebih pas lagi ya, kalau Beauty and the Beast udah main juga. Sama kan premisnya, Beast itu tidak selalu jahat, pahamilah mereka.