Wednesday, November 23, 2016

[REVIEW] MONSTER AND BEAST

[ENTRY INI MUNGKIN PENUH DENGAN SPOILER]

Monster dan hewan-hewan buas?

Alkisah di suatu tanggal 13 Oktober 2016, pergilah ambu menonton A Monster Calls sendirian xD Filmnya bagus sekali. Dan seperti biasa ambu pun ber-fangirling berkabar pada beberapa kawan. Sebagian dari mereka, setelah menonton juga, lalu berkabar berbeda.

"Ah, biasa saja. Atau mungkin hatiku sudah menjadi batu?

Mungkin ya, mungkin tidak.

Mari kita merunut balik.

Di suatu saat, seorang teman menyarankan 'The London Eye Mystery' tulisan Siobhan Dowd pada ambu. Begitu dapat, langsung dibaca.

Premisnya sederhana, seorang anak dan ibunya berkunjung ke London pada keluarga saudara si ibu, keluarga Spark. Mereka kemudian mau naik The London Eye, kincir angin raksasa yang terkenal di London itu. Si anak, Salim, naik, tapi tak pernah turun lagi. Ke mana ia?

Ceritanya sederhana, pemecahan masalahnya juga sederhana. Yang tidak sederhana ialah karena peristiwa ini dilihat dari sudut Ted Spark, seorang anak penyandang Asperger.

Siobhan Dowd piawai dalam menyusun kata, hingga isi hati isi pikiran Ted Spark bisa menarik. Buku The London Eye Mystery ambu beri lima bintang di Goodreads.

Lalu ambu menelusuri buku-bukunya yang lain. Sayang baru satu itu bukunya yang diterjemahkan di Indonesia. Menelusuri riwayat hidupnya, ternyata Siobhan sudah meninggal, karena kanker...

Sedihnya kalau seorang penulis meninggal ialah, kemungkinan ada banyak ide yang belum diwujudkan dalam bentuk tulisan. Salah satu ide Siobhan yang belum terwujud itu kemungkinan sempat dibicarakan pada Patrick Ness, sahabatnya. Kemudian lahirlah A Monster Calls.

Saat itu A Monster Calls belum diterjemahkan. Kebetulan saja ada diskon di salahsatu toko buku impor, jadi ambu bisa membelinya, dan engga tahunya ternyata itu edisi ilustrasi. Ilustatornya adalah Jim Kay, yang kemudian juga mengilustrasi Harry Potter Illustrated.






Ceritanya tentang seorang anak, Connor. Ayah-ibunya sudah berpisah, ayahnya sudah menikah lagi dan pergi ke Amerika, sementara ibunya menderita suatu penyakit.

Suatu malam Connor didatangi seorang/sebentuk monster. Monster itu tidak datang untuk menakut-nakuti, membuat suasana jadi horor, melainkan untuk bercerita. Ada 3 yang akan diceritakannya, lalu di akhir Connor yang harus menceritakan kisahnya, kisah ke-4.

Cerita-cerita yang dituturkan si monster ternyata berdampingan dengan keadaan yang sedang dialami Connor: ibunya yang sedang menderita penyakit mematikan, Connor sendiri dirundung di sekolah, kerinduan Connor akan ayahnya, neneknya yang 'asing' bagi Connor.

Ini... mencekam. Bukan mencekam model film horor atau suspense begitu, lebih ke psikologis. Lalu timbul pertanyaan: apakah kesemua situasi mencekam itu dialami oleh Siobhan pada saat-saat terakhirnya? Apakah A Monster Calls ini lebih merupakan catatan harian Siobhan sendiri?



Lalu 13 Oktober saat filmnya premier, ambu nonton sendiri (literary sendirian karena dalam bioskop cuma sendiri, plus kemudian mbak penjaga karcis dan mas pembersih turut nonton di kursi depan). Secara umum, film persis dengan buku.

Dan pertanyaan itu muncul lagi. Apakah semua perasaan yang dialami Connor itu adalah perasaan Siobhan saat ia divonis menderita kanker? Ketakutannya? Kemarahannya? Kesendiriannya?

Lalu di saat akhir, saat ia 'menyerah', saat ia membiarkan semua berlalu sebagaimana adanya, apakah begitu juga perasaan hati Siobhan di saat-saat terakhirnya?

Karena itu, masa bodo kalau orang lain menilai buku dan film ini membosankan. Buku dan film ini lima bintang buatku. Pas sekali menggambarkan suasana hati dan pikiran Connor sebagai wakil dari Siobhan, pada saat-saat akhir...

Kemudian setelah monster, datanglah beast... Bukan, bukan Beauty and Beast, itu mah tahun depan xD





Sampai saat ini ambu sudah dua kali nonton #nyengir tapi masih pengen lagiiiiiiii!

KUMAU PELIHARA FRANK!

*eta ku keukeuh* xD

 Daaaaaan, sama seperti A Monster Calls, ambu nonton di pertunjukan pertama, lalu kabar-kabari pada yang lain. Sama  juga seperti A Monster Calls, sebagian langsung fangirling bersama, sebagian lagi tidak.

Alasannya bermacam. Ada yang karena ternyata FBAWTFT asalnya dikira bakal seperti acara Steve Irwin dan semacamnya, dengan macam makhluk yang fantastis karena makhluk sihir, ternyata di akhir malah condong ke politik sihir. Inin sih sama, sebenernya pengharapan itu pada hewan-hewan fantastis yang banyak, Tapi kalau engga ada ceritanya sih kan engga seru xD

Ada juga yang melabeli FBAWTFT membosankan karena... Newt ngga ganteng, culun, dan canggung. Tina juga canggung. Sihirnya engga kolosal.

Bwahaha. Ini cerita seorang Hufflepuff, mana bisa ganteng cetar kolosal membahana! Tipe Newt itu bukan seleb di atas panggung, dia lebih suka bekerja di belakang layar.

Maka benar komen salahsatu Potterhead: ini mah film buat Potterhead, bukan buat Muggle atau No-Maj. Biukan buat penggemar film holiwut dengan bintang ganteng dar-der-dor dan sebagainya.

Suka sekali pada penggambarannya yang canggung, tapi terlihat kalau dia sayang sekali pada semua hewannya. Prinsipnya: binatang harus dimengerti. Kalau semua hewan mengerikan harus dibasmi, punah dong semuanya? Hewan-hewan mengerikan itu kan bukan mau mereka, bukan kemauan mereka lahir tidak dengan wajah ganteng atau cantik...




Umumumumu!

Satu lagi di sini: lelaki berkemeja lengan panjang digulung sesiku. Aih! Meleleh lah. Tinggal satu lagi: kalau saja Newt pakai kacamata. Meleleh level dewa xDD

Singkat kata: monster and beast itu korban stereotip. Mereka tidak jahat, mereka tidak minta dilahirkan seperti itu. Pahamilah, sayangilah, dan dunia berada di dalam genggamanmu #tsaah!

Sebenernya lebih pas lagi ya, kalau Beauty and the Beast udah main juga. Sama kan premisnya, Beast itu tidak selalu jahat, pahamilah mereka.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home